Sabtu, 25 Desember 2010

makna toleransi bagi dewa budjana

17 Dec 2010 1:32pm

APA arti toleransi dan bagaimana kita menerapkannya dalam hidup sehari-hari? Jawabnya pasti sangat beragam. Sebagian (besar) orang mengartikan toleransi sebagai sikap menghormati orang/golongan/kelompok lain yang berbeda dengan kita dengan cara tidak mencampuri urusan mereka. Tentu saja sepanjang urusan itu tidak mengganggu/merugikan orang lain.

Sikap toleran ini penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, karena berfungsi sebagai perekat yang mempersatukan. Apalagi jika mengingat rakyat kita yang sangat majemuk, yang terdiri dari banyak suku dan agama.

Kata toleran/si yang sering kita gunakan itu adalah serapan dari kata Inggris tolerant. Kita sebenarnya punya istilah asli yang sama artinya, yaitu tenggang rasa yang jarang kita gunakan. Mungkin karena terlalu panjang (2 kata). Ada juga istilah bahasa Arab; lakum dinukum waliyadin (bagimu agamamu, bagiku agamaku) yang artinya kurang-lebih sama, yaitu toleransi atau tenggang rasa.

Beberapa orang menerapkan konsep tenggang rasa ini lebih jauh lagi, yaitu dengan ikut membantu pekerjaan kelompok lain yang berbeda. Contoh yang paling jelas tentang konsep toleransi seperti ini bisa kita lihat dalam diri Dewa Budjana.

Sejak 7 tahun lalu, Budjana yang beragama Hindu aktif membantu Gigi membuat album religi (Islam) dan menjalankan konser Ngabuburit dan konser religi yang lain. Karena sikap toleransi Budjana ini, Gigi memiliki 4 album religi, dan sering tampil di acara-acara bernuansa Islami.

Tidak hanya dengan Islam, Budjana dengan kemampuannya bermian guitar yang luar biasa itu juga membantu temannya yang beragama Kristen. Tanggal 15 Desember 2010 lalu, misalnya, Budjana ikut tampil dalam acara Konser Natal MRA Grup di Balai Kartini Jakarta.

Dalam konser bertajuk “Terang: Kasih–Damai-Kebersamaan” itu Budjana mengaransemen dan membawakan dua komposisi lagu Natal yang berjudul Malam Kudus dan Dimalam Sunyi Bergema.

Bagi umat Kristiani, tampilnya Budjana di konser Natal ini sangat besar artinya, bukan saja karena keindahan aransemen dan kerapihan permainannya, tetapi terlebih karena hal ini membuktikan bahwa kita bisa hidup berdamping dengan segala perbedaannya.

Selain Budjana, di acara itu tampil juga Glenn Fredly yang sekaligus penggagas acara dan yang mengajak Budjana, Edo Kondologit, Matthew Sayersz, Monita, Cross Choir, Trie Utami, dan Magenta Orchestra.

Sebagai muslimah, keikutsertaan Trie Utami ini juga unik. Iie, begitu dia biasa dipanggil, juga beberapa kali membantu Budjana dalam konsernya yang bernuansa agama Hindu. “Trie Utami pernah membawakan Mantram Gayatri yang sakral dan sulit dengan sangat baik,” kata Budjana.

Kewajiban Agama dan AdatMeskipun kesediaannya membantu umat agama lain hampir tanpa reserve, Budjana juga menjalankan kewajiban agama dan adatnya dengan sungguh-sungguh. Hampir tidak ada upacara agama Hindu yang tidak diikutinya. Untuk upacara besar seperti Nyepi dan Galungan, Gigi mesti mengalah. Dan kami semua mengerti dan tidak pernah mempertanyakan masalah ini.

Saya sendiri beberapa kali mendengar istilah-istilah yang sebenarnya tidak terlalu saya pahami, seperti Odalan dan Otonan. Tapi melalui pencarian di internat dan website Parisada Hindu Dharma saya jadi sedikit mengerti bahwa Odalan atau disebut pula Piodalan, merupakan upacara hari jadi pura. Di Bali, setiap banjar (desa) memiliki pura banjar. Dan setiap pura merayakan Odalan setiap 210 hari, menurut kalender Bali.

Sedangkan Otonan atau Ngotonin adalah peringatan hari kelahiran berdasarkan satu tahun wuku, yakni 6 bulan kali 35 hari = 210 hari. Jatuhnya Otonan akan bertepatan dengan; Sapta Wara, Panca Wara, dan Wuku yang sama. Misalnya orang lahir pada hari Rabu Keliwon Sinta, otonannya akan diperingati pada hari yang sama yang datangnya setiap enam bulan sekali (210 hari).

Kembali ke konser Natal di Balai Kartini, dengan bahan dasar dua lagu yang dibawakannya itu, Budjana berencana membuat album Natal instrumental gitar. "Mudah-mudahan rencana ini bisa saya wujudkan. Mungkin akan ada unsur gamelannya," katanya. "Sudah ada orang yang menawari."

Jadi begitulah Budjana –entah disadari atau tidak- memaknai arti toleransi lebih dari kebanyakan kita. Kita bisa menarik pelajaran berharga di sini bahwa, daripada memperdebatkan perbedaan yang tidak bermanfaat, lebih baik kita mempraktikan hidup bersama dalam keanekaragamannya. (son andries/POSe)

Rabu, 08 Desember 2010

Susahnya Mengakomodasi Keinginan TV

Persiapan Menuju Gigi Sweet Seventeenth (2)

KEMARIN malam, 6 Desember, di kantor POS Entertainment, kami manajemen POS Entertainment kembali betemu Gigi. Kami bicara tentang konsep acara HUT 17 Gigi yang sudah dipastikan akan diselenggarakan di Istora Senayan Jakarta pada 26 Mei 2011. Menajamen menyampaikan apa saja yang telah dilakukan selama ini, bagaimana hasilnya, apa hambatannya, dan upaya apa lagi yang akan dilakukan. Pendeknya semua informasi kami sampaikan, kabar baik dan buruk. Sebaliknya kami minta Gigi melakukan sejumlah hal, sehubungan dengan persiapan mereka untuk tampil kelak.

Desain panggung HUT 17 Gigi.
Sebenarnya selama ini komunikasi antara manajemen dengan Armand, Budjana, Thomas, dan Hendy terus berjalan walau tidak secara formal, melalui telefon atau bicara langsung saat bertemu di kantor atau di suatu acara di luar kantor. Dalam setiap pembicaraan kami bertukar ide dan mencatat gagasan yang akan ditindaklanjuti.

Dalam pertemuan malam itu, kami –saya dan Dhani- bercerita bahwa minggu lalu kami bertemu dengan kepala divisi produksi salah satu stasiun televisi swasta, menawarkan acara HUT Gigi. Dalam hati kami berandai-andai, seandainya  dia tertarik, dan jika kami bisa memilih, kami akan minta acara ini di-tapping saja atau minimal siaran tunda. Kami mengindari siaran langsung sebab akan membuat jalannya acara tersendat-sendat, terpotong commercial break yang sangat tidak nyaman, tidak saja buat kami stage management, tetapi (terutama) juga buat undangan.

Kepada teman kami itu kami bilang bahwa Gigi punya acara besar, HUT 17. Kami yakin dia akan tertarik dengan konsep acara yang kami buat. Bayangkan ada 4 konduktor/komposer besar Indonesia yang akan tampil dengan orkestra membawakan lagu-lagu Gigi (tentu saja). Kami juga membuka diri terhadap adanya bintang tamu. Gigi sudah setuju ada Tantri Kotak, walaupun ini tergantung pada Tantri sendiri. Selain itu ada beberapa nama lain yang sedang di jajaki.

Perkiraan kami tidak salah, dia menyambut baik tawaran kami bahkan memberi apresiasi tinggi pada konsep acara. Tapi.. –saya selalu tidak suka dengan kata ini, terutama jika di depannya berupa punjian-  ia menyarankan kami memasukkan satu nama bintang tamu, yang menurut kami, tidak sesuai dengan konsep musik Gigi maupun orkestra. Sebenarnya nama yang diusulkan itu (sebaiknya tidak saya sebutkan disini) sedang naik daun, tapi ya.. itu tadi, secara konsep pertunjukan tidak cocok dan kami tidak ingin memaksakannya.

Padahal jika kami masukan nama itu (sebagai bintang tamu), hampir bisa dipastikan tawaran acara kami akan diterima. Sebab nama tenar itu memberi jaminan akan tingginya rating dan besarnya share acara. Kedua ukuran ini, seperti kita ketahui bersama, menjadi senjata TV untuk menarik pemasang iklan (baca: memperbesar pendapatan). Makin tinggi rating dan makin besar share suatu acara berarti makin besar pula penontonnya, dan makin banyak pula iklannya.

Kami mencoba menawar, dan dia menyebutkan dua nama penyanyi lain. Tapi dua nama alternatif itu nilainya tidak sebesar nama yang pertama disebut, sehingga kemungkinan ditolak cukup besar. Kami tidak menyalahkan teman kami ini, bagaimanapun ia telah mencoba membantu, memberi jalan agar acara kita bisa disiarkan televisi.

Pada akhir pertemuan kami bilang saran itu akan kami bicarakan dengan Gigi. Dan –sebagaimana sudah kami duga- Gigi langsung menolak usulan tersebut. Kami akan kembali menemui teman kami itu dengan membawa tawaran baru, jika tidak diterima juga kami akan menawarkan ke TV lain.

Masalah televisi ini sebenarnya tidak terlalu kami risaukan. Karena meskipun tidak ada TV yang mau, kami tetap akan melakukan tapping dengan produksi kami sendiri. Hasilnya akan kami jual ke produk untuk ditayangkan di TV atau digunakan untuk keperluan lain. Kalian pasti ingat video konser 11 Januari di Jogja yang disiarkan dalam HUT Indosiar dan jadi bonus di buku Gigi, bukan? Nah kurang lebih seperti itulah langkah yang akan kami tempuh.

Desain Panggung
Selain menginformasikan peluang masuk TV, kami juga menunjukkan desain panggung. Belum sempurna benar, karena ada beberapa komponen yang belum dimasukan. Jika tidak ada perubahan konsep yang radikal, sketsa ini bisa memberi gambaran akan seperti apa panggung Gigi di Istora nanti.

Gigi di Hard Rock Hotel, Bali.
Ukuran panggung cukup besar, 24 X 18 meter, sebab ada orkestra yang terdiri dari 50 orang. Ada lidah yang menjulur dari kedua sisi panggung dan bertemu di tengah ruangan dan terus menyambung dengan panggung FOH, tempat mixer. Di sepanjang lidah akan dipasang lampu. Kami ingin lampu itu bisa bergerak mengikuti Armand atau siapa saja yang melintas di atasnya.
Desain lampu, screen, dan LED sudah mulai dikerjakan, bergitu juga materi visualnya. Untuk keperluan itu kami meminta Gigi menyerahkan repertoar lagu. Karena lama pertunjukan dua setengah jam, kami minta mereka menyiapkan sekitar 24 lagu yang terbagi dalam beberapa bagian menurut tema, maupun jenis musiknya. Pembagian segmen ini penting karena akan ada sesi akustik, disco, rock, dan mungkin jazz. Tergantung bagaimana konsep akhirnya nanti.

Ada juga part solo buat masing-masing pemain. Ini enaknya dengan Gigi yang personilnya punya keterampilan bagus. Kami percaya diri dengan konsep solo ini sebab yakin benar dengan skill Budjana, Thomas, dan Hendy. “Mudah-mudahan ini menjadi daya tarik selain bagian-bagian lain,” kata Dhani.

Sebenarnya masih banyak gagasan lain, tapi kami tidak bisa menceritakannya satu persatu, tidak sekarang, karena sejumlah alasan. Pertama konsep ini belum final dan masih terus digodog bagian kreatif bersama Gigi. Kedua, kalaupun kami sepekat dengan suatu konsep bintang tamu misalnya, dan ternyata bintang tamu yang kami inginkan tidak bisa tampil, kami tentu harus membuat penyesuaian. Ketiga, jika nanti ada sponsor, kami pasti harus mengakomodasi keinginan mereka, dan ini berarti mengubah konsep.

Kami memang berusaha mencari sponsor, tapi tanpa sponsorpun kami tetap jalan. “Di Jogja kami jalan tanpa sponsor. Sekarangpun kami siap, ada atau tidak ada sponsor,” kara Dhani. Kalaupun ada sponsor kami ingin branding-nya tidak mengganggu konsep acara, khususnya untuk pertunjukkan di atas panggung.

Desain Logo
Selain semua urusan yang menyangkut konsep acara, kami juga tengah mencari logo buat acara ini. Kami telah menunjuk orang yang memang biasa membuat logo, dan telah menerima hasilnya, tetapi kami belum puas dan merasa ada sesuatu yang kurang. Jadi kami mencoba menggali kembali ide acara dan batasan-batasannya untuk mendapatkan hasil yang paling tidak mendekati keinginan bersama.

Armand dan Budjana juga akan mengontak teman mereka yang jago disain untuk membatu. Masalah ini kelihatannya sepele, tapi sebenarnya sangat penting karena semua materi promosi dan visual nantinya akan disesuaikan dengan logo ini.

Armand sempat mengusulkan untuk meperlombakan saja, tapi kami tidak setuju karena akan merepotkan dan kami mesti menyiapkan dana untuk hadiah yang julahnya pasti lebih besar dibanding jika kami membayar orang untuk membuatnya.

Jadi begitulah, kami terus bergerak, baik sendiri atau bersama-sama untuk menuntaskan acara ini. Kami juga akan melibatkan kalian, Gigikita, pada waktunya nanti. Banyak pertanyaan yang kami terima yang menanyakan harga tiket untuk hadir di acara ini. Terus terang kami belum bisa menentukannya sekarang. (son andries/POSe-bersambung)

Catatan buat Gigikita: Kami menyarankan kalian untuk mulai menabung. Menyisihkan sebagian uang jajan atau gaji kalian. Waktunya toh masih cukup lama. Kami ingin mengajak kalian mengambil bagian dalam sejarah Gigi. Salam.